You can't change anyone. You can't change your father, your mother, your wife, your brother, your sister, your son, your doughter,not even your boss!. Change yourself first!. Anonymous

Tuesday, 5 January 2010

Panggung kita, Panggung Merah Putih

Panggungnya  besar, berdiri diatas tanah yang sangat  luas. Di bangun sudah cukup lama, sehingga  banyak pendirinya yang  sudah tiada. Kini mereka ada di dunia lain. Disana, di surga. Warnanya  juga gagah. Merah dan putih. Katanya merah artinya berani, putih artinya suci. Diatas panggung bercokol Burung Garuda, burung tergagah didunia.

Dulu, sebelum panggung berdiri, tanahnya dikangkangi oleh orang-orang asing, orang dengan kulit  berbeda . Mereka datang dari jauh, dari benua yang berbeda. Mereka datang bukan untuk bersahabat, tapi menjajah, menghisap kekayaan melimpah yang ada di atas tanahnya. Dan juga menghina penghuninya.  jadilah mereka penghuni haram yang berkuasa.

http://jurnalistikuieu.files.wordpress.com/2008/08/merah-putih2.jpg


Tidak mudah untuk melempar orang haram  dari tanah itu. Begitu banyak kesedihan , tumpahan air mata , darah dan bahkan nyawa harus dipertaruhkan. Bukan puluhan, ratusan,  ribuaan nyawa, tapi jutaan nyawa harus melayang bersama semangat-semangat yang menggelora. Ketika, akhirnya mereka terlempar, Kesempatan akhirnya datang, berdirilah panggung merah putih. Bahagialah kita.

Namun kini,   ketika kita menatap panggung itu, warna terang yang memancarkan keberanian  dan kesucian itu seperti agak buram dan kelam. Seekor garuda gagah yang menatap, seperti  kehilangan   ketajaman, sayapnya pun  tak  mengepak. Dan, ada Awan-awan hitam diatasnya, yang seperti tidak bosan untuk selalu bersama.

Sedihnya, ditanah-tanah  yang lain, pangung-pangung terdekat kita telah semakin terang benderang,  warnanya semakin indah dan menawan. Menarik perhatian orang, padahal apa bedanya kita dengan mereka?. Bahkan, satu dari panggung lain itu sewajah kita. Dulu, banyak dari mereka belajar ke panggung kita. Kini?. Panggung itu telah semakin besar dan kuat  sehingga terkadang memandang sinis ke kita. Kenapa?. Karena banyak penghuni panggung kita lari ke atas panggung meraka. Menjadi pelayan-pelayanan mereka. Pelayan yang terhina dan sering disiksa.

Di panggung kita, panggung merah putih, ada penguasa juga rakyatnya. Sayangnya, para penguasa dari dulu sampai sekarang, tabiatnya hampir sama , tidak jauh berbeda. Besar di mulut dan otot sedang telingga dan hatinya banyak yang sudah copot. Mereka asyik sendiri, untuk saling pukul dan bersiasat, bermain untuk memuaskan sahwat.  Kemenangan adalah impian, kehancuran bagi yang dianggap lawan adalah kebahagian. Jadinya…, panggung itu benar-benar riuh rendah, penuh teriakan. Semua ingin bermain, semua ingin tampil, semua ingin terlihat. Dan untuk itu, segala cara adalah bukanlah tipu muslihat. Rakyatnya dimana?. Sedihnya, banyak yang terlempar  keluar panggung, terjerambat ke bawah , menjadi tumbal untuk menahan sudut-sudut tiang yang terus bergoyang, menahan beban para pemain diatasnya.

Dulu, lebih sepuluh tahun yang lalu, panggung itu hampir roboh, belum roboh. Kita tahu semua, mengapa panggung itu hampir roboh. Begitu banyak rasa sakit, kesedihan dan darah untuk menahan agar panggung itu tidak benar-benar roboh. Syukurnya,  kita memiliki anak-anak muda yang masih mampu menahanya.

jangan biarkan panggung kita roboh, kasihan anak-anak kita yang masih perlu berjalan jauh  untuk menatap masa depannya.  Jangan biarkan nasib mereka, menjadi bulan-bulanan dan hinaan penghuni panggung yang lain dimasa depan. Buatlah mereka bangga dengan kesadaran kita. Semoga kesadaran   yang utuh dan tulus menggengam pikiran dan hati kita  di awal tahun ini, sebagai penghuni panggung merah putih.

Foto diambil dari google






Pagi yang Ceria

Pagi itu begitu ceria,
Kusingkap kain gorden dipintu rumah, kubuka jendela yang ditutupinya. Angin pagi yang sejuk mengalir masuk menghembus ke badan secara perlahan. Kuhirup udara pertama yang menerpa diriku. Ah, begitu segar mengalir kedalam rongga-ronga dada. Perlahan kukeluarkan, kuhembuskan dengan penuh kehati-hatian. Hiliran angin berikutnya membelai wajah-wajah lesuh ini, seperti sebuah tamparan yang membangkitkan semangat. Ah, betapa segarnya udara hari ini menyambutku,  dipagi yang cerah  itu.
http://bonreve.files.wordpress.com/2009/01/232.jpg
kutatap taman  dipojok halaman. Pohon-pohon kecil berdaun hijau, tertetes embun pagi begitu indah dilihat. Kuncup-kuncup bunga berwarna, seperti  berlomba menampilakan keindahannya. Beberapa ranting pohon kecil itu terlihat patah, tampaknya hembusan angin yang kuat semalan telah membuat kekuatannya tak mampu bertahan dalam terpaan angin yang begitu kencang terdengar, menderu dalam cuaca yang tak bersahabat. Tapi berganti hari, cuaca berubah, kulihat keindahan yang menawan. patahan-patahan kecil ranting, tak mengangu indahnya bunga yang mulai merekah. Seekor, burung kecil secara tiba-tiba hinggap didahan  itu, betapa senang jiwa ini. Sepertinya mereka saling menyapa tentang kedamaian, dalam bahasa yang tak pernah kuketahui. Tapi siulan burung kecil itu, sedikitnya memberikan gambaran kegembiraan jiwa kecilnya.
Kutatap jalan kecil yang membelah rumah, terlihat laki-laki tua berbaju putih sedang berjalan, Ia tetanga sebelah rumah. Wajahnya dipagi ini begitu teduh, senyum tipis mengembang diwajahnya, sepertinya udara pagi ini telah menyapa jiwanya dengan begitu indah dan ramah. Digerakan tangannya kebawah lalu keatas sambil terus berjalan. Sekali-sekali kulihat kakinya diangkat keatas mengiringi  tanganya yang terus bergerak. Ia terus berjalan, berlalu, dengan senyumnya yang tak lepas, meninggalkan pandangan mataku, yang tertutup tembok halaman.
Sepertinya, tak hanya rongga dadaku, mataku, tapi telingaku pun, disajikan sebuah keindahan dipagi ini. Kudengar alunan musik merdu mengalun pelan, terbawa desiran angin menerpa telinggaku. Ah, begitu enak didengar. Suara biduanita, mengalun pelan menghentakjiwa yang ada didada ini. Oh, bagaimana laki-laki ini, yang biasanya tak terhentak oleh alunan lagu, merasakan hal lain di pagi ini. Lagu cinta itu membawa kedamaian lain didalam diri, mengusik-usik kesendirian, keterasingan yang kadang menyergap diantara laju kehidupan.
Pagi itu, sepertinya tak ingin kulepaskan, ingin Kurengkuh selama-lamanya. Menikmati rahmat Sang Pencipta . Di hari yang jauh dari kesibukan  pada waktu itu, ketika orang-orang mempunyai kesempatan untuk menikmati alam yang indah ini, dilangkah pertamaku dipagi itu, hamparan kebahagian ingin kupeluk dengan sekuat jiwa.
Namun panggilan kecil, menghentak pelan jiwaku. Sebuah suara kecil yang pasti tak asing bagiku. Perlahan kubergerak, melangkah memburu ke suara kecil itu. Kubuka pintu kamar, wajah kecil itu kulihat tersenyum, memanggil namaku ” ayah” katanya. Gadis kecil itu kurangkuh, kutarik  pelan kedalam dekapan dadaku. Kuangkat,dan bergerak pelan, kembali kedepan, kuingin ia menikmati kecerian pagi ini. Didalam dekapanku, kulihat wajah polos itu, sebuah senyum kecil, seorang gadis cilik, yang belum mengerti makna hidup ini sepertinya melengakapi kebahagian pagi ini.
Perlahan, kubuka gerbang mungil di depan halaman rumah, kuturunkan gadis kecil itu dari dekapan, agar ia berjalan. Kutuntun ia berjalan diatas jalan kecil berkerikil yang tertata rapih itu. Mukanya begitu ceria, di sepaknya beberapa sampah kecil yang menggangu jalannya. Tanggannya bergerak lincah kesana-kemari hendak menangkap  kupu-kupu kecil yang terbang dimukanya , tampaknya udara pagi yang sejuk mendorong segala kelincahannya. kutelusuri jalan ke depan, kurengkuh tangan kecil itu, kutunjuk sebuah bunga indah yang begitu mempesona didalam sebuah halaman berpagar besar rumah bercat biru. “Indah ayah, indah” Katanya sambil menunjuk bunga berwarna merah merekah itu.
Tiba-tiba, kring…kring sebuah bunyi menghentikan langkahku. Kusadar, langkah kaki ini terlalu ditengah. kutengok kebelakang, ah, sebuah sepeda kecil dengan seorang bocah diatasnya. Mukanya  yang agak hitam tersenyum, sepertinya ia sadar telah mengagetkan langahku. Balik ku tersenyum kepadanya. Kulihat puluhan koran diatas stang sepedanya, juga didalam tas mungil yang ada dipundaknya. Loper koran batinku. kupanggil dia “koran”. Ia pun menepi. “koran Pak?”  tanyanya. Aku mengganguk sambil menyebut sebuah surat kabar nasional yang biasanya kubaca. Kuberi uang, dan Ia memberikan surat kabar yang kuminta. Tangannya mengembalikan selembaran uang kumal dan sebuah recehan kecil pengembalian, kepalaku  menggelang. Ia terenyum, sambil mengucap terima kasih. Perlahan  sepeda itu menjauh, kutatapi punggung kecil itu mengayuh kembali sepedanya, sambil sekali terdengar suaranya yang berteriak koran..koran.
Terus berjalan, lalu kuseberangi jalan besar  diujung supermarket kecil itu. Langkahku  mengayun menuju sebuah taman. Kutarik tangan gadis kecil ku untuk duduk ditaman kota yang sederhana. Kulihat  sudah ada beberapa anak-anak kecil berlari-lari menikmati pagi yang cerah itu. Mereka begitu gembira. Berlari-lari riang, berkejaran, melompat dan tertawa ceria. Aku tersenyum.
Namun diantara harmoni jiwa di pagi itu, diantara senyum bahagia untuk si kecilku, diantara senyum -senyum bahagia melihat keceriaan anak-anak itu tetapa ada rasa gundah didada. Ah, apakah semua  dapat menikmatinya?. Batinku. Mengelitik rasa jiwa, mendorong berfikir tentang anak-anak  yang lain. Bukan hanya loper koran cilik itu, tetapi juga cerita lain yang lebih menyedihkan tentang anak-anak di panggung Merah putih ini. Panggung kehidupan meraka, masih menyisakan banyak kisah yang menyedihkan, tentang kesulitan, tentang kemiskinan. Mereka ada dimana-mana, diantara kita. Di desa maupun dikota. Batinku,  semoga ada kesadaran kita, kesadaraan bersama untuk tidak berfikir hanya tentang anak-anak saya, tapi juga anak-anak kita, anak-anak Indonesia. Semoga hari-hari mereka, adalah hari-hari yang ceria.
catatan: gambar dari google